TheKoffee. #1,570 of 7,558 Restaurants in Jakarta. 6 reviews. Jl. Pegangsaan Timur No.17 DoubleTree by Hilton Hotel Jakarta - Diponegoro. 0.1 km from DoubleTree by Hilton Hotel Jakarta - Diponegoro. " A cozy place to hang out.. " 14/12/2020. " Lovely ambiance " 24/01/2020. Cuisines: American, Cafe, Deli.
Darikolam renang rooftop, kamu bisa menikmati pemandangan kota Jakarta. Hotel ini berjarak 5 menit berkendara dari kawasan pasar antik di Jalan Surabaya, 10 menit berkendara dari Grand Indonesia Shopping Town, dan harga menginapnya mulai dari Rp1.305.000/malam jika pesan lewat Traveloka .
JlLau Tze No 109, Sawah Besar, Jakarta Pusat : 021-6247050: 021-6247048: View Map: 71: KCP KEM Tower : KEM Tower Lt.1 Unit A, Jl. Landasan Pacu Barat Blok B No.10 Kav. No. 2, Kemayoran, Jakarta Pusat : 021-65703891: 021-65703892: View Map: 72: KCP Menteng Prada: Kompleks Pertokoan Menteng Prada Lt. 1 Blok 7E, Jl. Pegangsaan Timur No. 15 A
cash. Bukan rahasia, rumah dengan pekarangan luas di Jalan Pegangsaan Timur kini Jalan Proklamasi No 56, Jakarta Pusat, itu adalah salah satu bangunan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Di lokasi itu, teks proklamasi dibacakan Ir Sukarno pada 17 Agustus 1945 didampingi Mohammad rumah itu disebut sebenarnya merupakan wakaf dari seorang pengusaha keturunan Hadramaut bernama Faradj Martak. Namun sebelum mengkonfirmasi kebenaran tersebut, ada satu misteri juga yang tak kalah menarik, yakni mengapa rumah yang sebegitu bersejarah itu dihancurkan oleh Presiden Republika sepanjang zaman Alwi Shahab yang wafat pada 2020 lalu menuturkan bahwa gedung tersebut merupakan bekas kediaman warga Belanda sebagai landhuis atau semacam country house yang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak dibangun di Batavia. Rumah itu memiliki 12 kamar, sebuah garasi, serambi belakang, ruang depan, tengah, dan ruang makan. Scroll untuk membaca Scroll untuk membaca Suasana di rumah di Jalan Pegangsaan Timur kini Jalan Proklamasi No 56. TwitterKetika penjajah Jepang tiba pada Maret 1942, rumah itu salah satu yang mereka sita karena seluruh warga Belanda kala itu ditahan atau dipulangkan ke Eropa. Sementara Bung Karno diketahui mulai tinggal di rumah yang memiliki pekarangan luas dan merupakan kawasan elit di Jakarta tersebut sejak masa pendudukan Jepang tersebut, tepatnya pada 1942. Dari putra-putrinya hanya putra sulungnya, Guntur, yang dilahirkan di tempat ini. Di tempat inilah, Presiden Soekarno melantik kabinet pertama RI, pada 4 September 1945. Kabinet presidensil ini dibentuk hanya dua hari 19 Agustus 1945 setelah proklamasi. Ketika Januari 1946 saat kota Jakarta dikepung NICA dan muncul perlawanan bersenjata dari rakyat, Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur yang masih bayi hijrah ke Yogyakarta dari rumah itu. Bung Karno dan rombongan berangkat ke Yogyakarta naik kereta api di malam hari yang dipadamkan lampunya untuk menghindari kepungan NICA yang ingin berkuasa kembali di negeri ini. Stasiun yang digunakan menaiki kereta api terletak persis di belakang rumah tersebut. Kemudian di tempat rumah itu juga, pada Oktober 1946, diadakan perundingan Linggarjati antara pembacaan proklamasi. istimewaPada 1946-1948 setelah Bung Karno dan Bung Hatta hijrah ke Yogyakarta, rumah ini jadi tempat kediaman Perdana Menteri Sutan Sjahrir hingga 1948. Ketika hubungan dwitunggal Bung Karno dan Bung Hatta memburuk, November 1957, diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Nasional, yang oleh pers kemudian dilecehkan jadi Musyawarah Keruk Nasi. Pertemuan itu gagal yang berakibat Hatta mengundurkan diri sebagai wakil pada 1961 datanglah nasib akhir rumah tersebut. Kala itu, Presiden Sukarno tiba-tiba memerintahkan pembongkaran gedung tersebut. Mengapa Presiden Sukarno membongkar gedung yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia itu? Menurut Abah Alwi, sapaan Alwi Shahab, hal ini pernah ditanyakan oleh salah seorang penulis biografi Bung Karno yang berjudul Putera Fajar, yakni Solichin Salam. Jawab Bung Karno, "Saya lebih mengutamakan tempatnya dan bukan gedungnya. Sebab, saya taksir gedung Pegangsaan Timur itu paling lama hanya tahan 100 tahun, mungkin tidak sampai. Itu sebabnya saya suruh bongkar.''Menurut keterangan dari Yayasan Bung Karno, presiden pertama RI itu ingin memindahkan semangat proklamasi kemerdekaan di Monas. Peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI agar selanjutnya diadakan di Monas yang monumental itu. Bukan di gedung proklamasi dan juga bukan di Istana. Tugu Monas, menurut Bung Karno, dirancang untuk tahan ribuan tahun seperti juga piramida di itu pada 1960 semasa gubernur Henk Ngantung telah dijadikan Gedung Pola untuk menyiapkan program pembangunan. Semacam Bappenas sekarang ini. Dalam bukunya Kenang-kenangan sebagai Kepala Daerah, Henk Ngantung menulis, "Ide pembangunan Gedung Pola memang baik. Tapi, dengan membongkar dan mengorbankan Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56 saya rasa sayang dan aneh." Henk memaparkan kisahnya mendatangi Bung Karno ke istana untuk meminta agar gedung bersejarah itu tidak dibongkar. Ia mengajukan pertanyaan, "Apakah keputusan Bung Karno tidak bisa ditinjau lagi?" Sebelumnya tak sedikit juga yang menanyakan hal itu pada Bung Karno. Bung Karno menjawab singkat, "Apakah kamu juga termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku di dalam rumah itu."Tak ada sedikitpun rasa ragu dan sesal dari sikap dan kata-kata Bung Karno. Agar pembicaraan tidak terputus begitu saja Henk kembali membangun suasana. "Apakah saya boleh buat duplikat dari gedung Pegangsaan Timur 56 sebelum dibongkar?" tanya Henk. Bung Karno menyatakan setuju. "Baru sekarang, sementara saya mengenangkan kembali pertemuan dengan Bung Karno tentang pembuatan duplikat bisa juga diartikan, membangun kembali Gedung Pegangsaan Timur 56 itu dalam keadaan maupun ukuran yang sama, kecuali di atas tanah dan tempat yang sama karena akan dibangun Gedung Pola."Willard A Hanna, seorang Amerika Serikat dalam bukunya 'Hikayat Jakarta' menyimpulkan bahwa pembongkaran tempat proklamasi ini karena Bung Karno tidak suka diingatkan kembali pada keadaan ketika menjelang proklamasi dia diculik para pemuda radikal. Karena itu gedung ini diratakan dengan Karno bersama Bung Hatta pada hari Kamis 16 Agustus 1945 sehabis makan sahur diculik sekelompok pemuda radikal pimpinan Sukarni ke Rengasdengklok, dekat Kerawang. Setelah tengah malam sebelumnya oleh para pemuda yang dipimpin Sukarni, ia dipaksa memproklamirkan kemerdekaan 16 Agustus 1945 karena Jepang telah menyerah pada Sekutu. Ikut dalam rombongan ke Rengasdengklok, Ibu Fatmawati yang menggendong Guntur yang masih berusia sembilan setengah Gubernur DKI, Ali Sadikin, sejak lama ikut mendorong dibangunnya kembali rumah Bung Karno itu. Menurut Bang Ali, ketika menjadi gubernur ia sudah merencanakan hal ini. "Bahkan saya sudah siapkan dananya. Tapi, tidak disetujui Pak Harto yang waktu itu akan membangun Patung Proklamator."Dulu di bagian depan rumah Bung Karno ini terdapat Tugu Proklamasi yang diresmikan pada 17 Agustus 1946 oleh Gubernur Suwiryo saat Bung Karno masih di Yogyakarta. Tugu Proklamasi yang tingginya tidak lebih dari dua meter ini pernah menjadi lambang Kota Jakarta. Tak pernah sekalipun dari sekian banyak tulisan Abah Alwi soal gedung ini, tersurat soal kepemilikan Faradj Martak atas bangunan tersebut yang kemudian diwakafkan pada Sukarno. Meski jika kemudian ditemukan bukti-bukti yang menguatkan, bisa jadi demikianlah adanya.
› Opini›Bung Karno, dari Oranje... Setelah diasingkan di Padang, Bung Karno ”kembali” ke Jawa pada 1942 dan tinggal di Oranje Boulevard, kini di Jalan Diponegoro, dan kemudian pindah ke rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. KOMPAS/SUPRIYANTO SupriyantoTanggal 17 Agustus 2021 kita memperingati Hari Kemerdekaan Ke-76 RI. Setiap menyambut Hari Proklamasi kita teringat alamat sebuah lokasi di Jakarta, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, sekarang Jalan Proklamasi bagian depan rumah yang luas pekarangannya itulah pada 17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dari rumah Bung Karno itulah perjalanan republik ini dimulai. Di lokasi yang pernah menjadi kediaman Bung Karno itu kini berdiri Gedung Perintis Kemerdekaan sebelumnya disebut Gedung Pola dan Gedung Proklamasi, sebuah tugu yang di puncaknya ada kilatan petir, replika Tugu Peringatan Satu Tahun Proklamasi, serta Monumen Pahlawan kisah rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu pernah menjadi kediaman Bung Karno dan kemudian dikenang sebagai salah satu tempat bersejarah negeri kita? Ada serangkaian cerita tentang hal Karno ke JawaSemenjak awal pendudukannya di Indonesia, Jepang menyadari bahwa mereka membutuhkan dukungan para pemimpin, tokoh politik, dan masyarakat negeri jajahannya ini. Tokoh-tokoh yang sudah dikenal luas masyarakat, apalagi yang kharismatik, didekati untuk membantu pemerintah jajahan dan menggerakkan potensi rakyat di berbagai pemerintah pendudukan Jepang memerlukan tokoh sekaliber Soekarno yang aktivitasnya ketika itu sudah luas dikenal juga Jejak Sejarah ”Putra Sang Fajar” di Bumi RaflesiaSewaktu Jepang menginvasi Indonesia, Bung Karno tengah dalam pengasingan politik oleh pemerintah kolonial Belanda di Bengkulu. Bung Karno dipindahkan dari Ende, Flores, pada 1938. Menyadari posisinya kian terdesak, Belanda lalu mengungsikan Bung Karno dan keluarganya ke Padang, dan menurut rencana terus ke karena Belanda panik dan ketiadaan transportasi untuk membawa Bung Karno keluar Padang, beliau masih di Padang saat Jepang masuk kota tersebut, 17 Maret 1942 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, 2005.Kehadiran segera Bung Karno di Pulau Jawa dinantikan Jepang dan kawan-kawan seperjuangannya semasa pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda, antara lain Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Namun, mengingat situasi yang belum menentu di awal pendudukan Jepang, perjalanan Bung Karno kembali ke Jawa sempat tersendat, bahkan agak sebuah perahu bermotor berukuran panjang 8 meter, Bung Karno, istrinya, Inggit Garnasih, Kartika anak angkat mereka, dan Riwu pembantu keluarga sejak di Ende, Flores, dikawal dua tentara Jepang, bertolak dari Palembang, awal Juli 1942. Ikut pula dalam rombongan kecil tersebut, dua anjing peliharaan keluarga Bung Karno, Ketuk Satu dan Ketuk mengarungi laut bergelombang yang membuat penumpangnya ciut hati dan mabuk laut, selama empat hari, perahu itu mendarat di pelabuhan Pasar Ikan, Jakarta, 9 Juli 1942 Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1965. Cetakan ke-6, 2000; John D Legge, Sukarno Sebuah Biografi Politik, 1972; Lambert Giebels, Soekarno Biografi 1901-1950, 2001; Mohammad Hatta, Indonesian Patriot Memoirs, 1981.Baca juga Warisan Kepemimpinan Soekarno-Hatta, Gelorakan Persatuan di Sanubari RakyatUniknya, kisah perjalanan Bung Karno ini disinggung Tan Malaka dalam karya monumentalnya, Madilog. Di bagian pendahuluan, Tan Malaka membandingkan pelayaran Bung Karno dari Palembang ke Jakarta, dengan perjalanannya dari Teluk Betung ke tujuan yang sama, memakai perahu layar kecil Seri Renjet yang sudah tua dan bocor di Malaka menceritakan, sepanjang pelayaran gerak maju perahu layar tersebut dipermainkan angin. Sementara perahu yang ditumpangi Bung Karno, menurut Tan Malaka, juga ditarik sebuah kapal bermotor Jepang. Alhasil, kendati Teluk Betung lebih dekat ke Jakarta, perjalanan Tan Malaka memakan waktu lebih lama Tan Malaka, Madilog, Teplok Press. Cetakan Ketiga, April 2000.Sesampai di Jakarta, apakah Bung Karno dan keluarganya langsung tinggal menetap di Jalan Pegangsaan Timur 56? Ada yang mengatakan bahwa di hari pertama di Jakarta, Soekarno sekeluarga menginap di kediaman Bung Hatta di Oranje Boulevard yang kini bernama Jalan Diponegoro John D Legge, 1972.Ada yang mengatakan bahwa di hari pertama di Jakarta, Soekarno sekeluarga menginap di kediaman Bung Hatta di Oranje Boulevard yang kini bernama Jalan ada juga catatan bahwa di Jakarta, keluarga Bung Karno awalnya menginap di Hotel Des Indes, Harmoni, yang kemudian menjadi kompleks pertokoan Duta Merlin Ramadhan KH, Kuantar ke Gerbang Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, 1988; Walentina W de Jonge, Sukarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan, 2015.Penguasa militer Jepang memang sudah menyiapkan berbagai keperluan Bung Karno kantor, staf, mobil, dan sebuah rumah Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka. Jilid 1, 1901-1945, 2003.IPPHOS Pembicaraan antara Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta sekitar pembentukan Kabinet, Juni rumah yang luasBeberapa buku memastikan bahwa Soekarno dan keluarganya tidak langsung tinggal menetap di Jalan Pegangsaan Timur 56, tetapi mulanya pernah di sebuah rumah cukup besar bertingkat dua di jalan raya daerah elite Menteng, Oranje Boulevard Lambert Giebels, 2001; Ramadhan KH, 1988; Soebagijo IN penyunting, Mr Sudjono Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942, 1983.Bung Karno sendiri tidak jelas menyebut alamat rumah tinggalnya yang pertama di Jakarta. Beliau hanya mengatakan bahwa ”Jepang telah menyediakan sebuah rumah bertingkat dua dan manis potongannya, terletak di sebuah jalan raya Jakarta” Cindy Adams, 2000.Namun, setelah beberapa waktu, Bung Karno dan Bu Inggit merasa kurang senang tinggal di rumah bertingkat dua di Oranje Boulevard kemudian dipastikan posisinya di Jalan Diponegoro Nomor 11 itu Lambert Giebels, 2001. Bagi mereka, rumah itu terasa tidak cukup luas untuk menerima tamu Bung Karno yang semakin video Inggit 1 Srikandi di Balik Kemerdekaan IndonesiaKetidaksenangan tinggal di rumah bertingkat itu diakui sendiri oleh Bung Karno Cindy Adams, 2000. Bu Inggit juga merasa selain rumah kurang besar, ”suamiku tidak senang naik turun tangga di rumah bertingkat itu” Ramadhan KH, 1988. Mereka ingin tinggal di rumah yang lebih besar dan nyaman dengan halaman 20 tahun yang lalu, Kompas memuat tulisan seorang pelaku sejarah yang mengetahui asal mula Bung Karno tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56. Dalam artikelnya berjudul ”Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi” Kompas, 16 Agustus 2001, Chairul Basri menceritakan pengalamannya ikut mencarikan rumah untuk Bung Basri yang pensiun sebagai mayor jenderal TNI AD, dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 1966-1979, kemudian menuliskan kisah itu dengan lebih rinci dalam bukunya, Apa yang Saya Ingat 2003.Ceritanya berawal ketika Chairul Basri diminta seorang pejabat Jepang, Shimizu Hithoshi, dari badan propaganda, untuk mencarikan rumah bagi keluarga Bung Karno. Bersama seorang teman, Adel Sofyan, keduanya bersepeda berkeliling daerah akhirnya menemukan sebuah rumah yang luas pekarangannya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor akhirnya menemukan sebuah rumah yang luas pekarangannya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Keduanya merasa rumah ini cocok bagi Bung Karno. Chairul teringat pesan Bung Karno ”Saya ingin mendiami rumah yang luas pekarangannya agar saya dapat menerima rakyat banyak” Chairul Basri, 2003.Rupanya rumah itu milik seorang Belanda yang sudah diinternir Jepang. Istrinya masih menghuni rumah tersebut. Wanita Belanda itu diminta mengosongkan rumah tersebut dan dipindahkan ke Jalan Lembang, juga di daerah Menteng. Bung Karno setuju pindah ke Jalan Pegangsaan Timur Nomor baik dalam artikel di Kompas dua dasawarsa lalu itu maupun dalam bukunya, Chairul Basri tidak menjelaskan apakah rumah di Pegangsaan Timur itu rumah pertama Bung Karno di Jakarta setelah kembali dari Sumatera ataukah rumah berikutnya setelah sempat menghuni rumah di Oranje Upacara peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, 17 Agustus 1952. Anak-anak bermain bola di Tugu Proklamasi, Minggu 22/4/2012.Ketika menempati rumah yang kemudian menjadi tempat diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia, Bu Inggit Garnasih sempat tinggal di rumah tersebut. Bu Inggit merasa lebih nyaman di Pegangsaan Timur 56, yang selain luas halamannya juga memiliki banyak kamar dan ada paviliunnya Ramadhan KH, 1988.Setelah bercerai dengan Bu Inggit, Bung Karno menikah dengan Fatmawati. Dalam pernikahan yang berlangsung di Bengkulu itu, Juni 1943, Bung Karno diwakili Sardjono, seorang kawan Bung Karno di Bengkulu Cindy Adams, 2000; Lambert Giebels, 2001; Fatmawati Sukarno, Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno, 2016.Bu Fat lalu pindah berkumpul dengan suaminya di Jakarta dan tinggal di Pegangsaan Timur 56. Di rumah itulah kemudian diselenggarakan pesta pernikahan mereka, 22 Agustus 1943 Lambert Giebels, 2001. Di rumah itu pulalah Bung Karno dikaruniai putra pertama, Guntur Soekarnoputra, 3 November 1944. Di sana juga Bu Fat menjahit Bendera Pusaka juga Merawat Kenangan Fatmawati Soekarno di BengkuluTulisan ini memang hanya sebatas kisah awal rumah di Pegangsaan Timur 56 itu menjadi kediaman Bung Karno. Tentu banyak kisah penting lain di rumah bersejarah tersebut. Sayang, bangunan asli rumah itu atas perintah Presiden Soekarno sendiri dibongkar awal tulisan ringkas ini mengingatkan kembali pada sekilas riwayat rumah yang pernah menjadi kediaman salah seorang pendiri republik ini. Sebuah rumah tempat dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 76 tahun yang Republik Lukman, Peminat Sejarah Nasional Indonesia
Oleh Herry M. Joesoef Jakarta – Rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas di Jalan Pegangsaan Timur no 56, Menteng, Jakarta, itu menjadi saksi kelahiran republik ini. Di depan rumah inilah Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta. Adapun bangunan di belakang pembacaan naskah proklamasi, adalah sebuah rumah yang dimiliki dan dihuni oleh keluarga keturunan Arab yang mukim di Jakarta. Beberapa hari sebelum proklamasi kemerdekaan, Soekarno terserang penyakit beri-beri dan malaria. Bung Karno kerap menggigil, panas-dingin, dan lemas badannya. Adalah seorang pengusaha asal Yaman, Farej Said Martak, sahabat Bung Karno, memberikan madu Arab, Sidr Bahiyah, yang didatangkan dari Hadramaut, Yaman. Madu Sidr bukan sembarang madu. Khasiatnya sudah teruji sejak ratusan tahun lalu. Bersifat antibiotik dan sekaligus antiseptik. Setelah beberapa hari mengkonsumsi madu Sidr, kondisi Bung Karno berangsur pulih. Lalu, dengan didampingi Mohammad Hatta, Bung Karno membacakan naskah Proklamasi di depan rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini, Menteng, itu. Rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu memang milik keluarga Farej yang dihibahkan kepada Bung Karno. Di rumah inilah Ibu Fatmawati menjahit Bendera Merah Putih pada malam sebelum teks proklamasi dibacakan. Atas jasa baik itu pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan ucapan terima kasih pada keluarga Martak, berupa surat secara tertulis pada 14 Agustus 1950 yang ditandatangani oleh Ir. Mananti Sitompoel sebagai Menteri Pekerdjaan Umum dan Perhubungan Indonesia. Dalam surat tersebut, disebutkan juga, selain rumah di jalan Pegangsaan Timur 56, keluarga Martak telah membeli beberapa gedung lain di Jakarta yang sangat berharga bagi kelahiran negara Republik Indonesia. Dalam perkembangannyam atas permintaan Bung Karno, pada 1962, rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu dirobohkan. Di atas bangunan tersebut kemudian didirikan Gedung Pola, sedangkan tempat Bung Karno dan Bung Hatta berdiri saat membacakan teks Proklamasi, didirikan monumen Tugu Proklamasi. Jalan Pegangsaan Timur diubah menjadi Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. *** Farej bin Said bin Awadh Martak adalah putra ketiga dari empat bersaudara. Secara berurutan, kakak-kakak Farej adalah Djusman Martak dan Muhammad Martak, sedangkan adiknya bernama Ahmad Martak. Keluarga besar Martak dan keluarga Badjened mendirikan Alegemeene Import-Export en Handel Martak Badjened Marba, dimana Farej menjadi Presiden Direkturnya. Jejak Marba masih bisa ditelusuri di Jogjakarta berupa Hotel Garuda, dan di Semarang berupa Gedung Marba. Anak keturunan dari keluarga Martak ini masih eksis di bumi Nusantara. Salah satunya adalah Yusuf Muhammad Martak, Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa GNPF-Ulama. Yusuf adalah putra dari Muhammad Martak, kakak dari Farej bin Said bin Awadh Martak. Nama besar Marba kini dilanjutkan oleh Yusuf dengan aneka bidang usaha, dari restoran sampai ke biro perjalanan, dan berpusat di Tebet, Jakarta Selatan. Dengan latar sejarah seperti itu, jika sekarang Yusuf Muhammad Martak hadir di pentas nasional, bukanlah sesuatu yang a-historis. Yusuf bukan tipe manusia yang memanfaatkan nama besar keluarga untuk kepentingan pribadinya, tapi ia merasa terpanggil, sebagai anak bangsa, berkontribusi kepada negara-bangsa ini dengan jargonnya, “Apa yang bisa kami berikan untuk republik ini”, bukan “Apa yang bisa kami ambil dari republik ini”. Keluarga Martak telah membuktikan hal itu, sejak dari persiapan kelahiran republik ini. Kehadiran dan peran warga keturunan Arab dalam mempersiapkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Jejak dan fakta-fakta sejarah bisa berderet panjang. Di antaranya adalah Baswedan 9 September 1908 – 16 Maret 1986 yang juga populer dengan sebutan Abdurrahman Baswedan. Ia adalah seorang pahlawan nasional. semasa hidupnya, dia dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BP-KNIP, Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. Baswedan yang fasih bicara dengan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris itu adalah salah satu diplomat pertama Indonesia ysng berhasil mendapatkan pengakuan baik de jure maupun de facto bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir. Salah satu cucu dari Baswedan adalah Anies R. Baswedan yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta. HMJ
jalan pegangsaan timur no 56 jakarta